Selasa, 28 Agustus 2018

Syahadah Vs Kejawen ???

SYAHADAT ISLAM KEJAWEN
.
Syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, melakukan persaksian. Syahadat adalah Rukun Islam pertama yang harus dipenuhi. Tanpa syahadat, kamu belum bisa disebut Muslim. Bagaimana bunyi syahadat itu, persaksian itu? Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah (Aku bersaksi sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah). Masalah kemudian muncul ketika ada pertanyaan: “Apakah kamu bisa menyaksikan Allah? Apakah Allah bisa dan mungkin disaksikan?” Karena jika tanpa pernah menyaksikan Allah, maka persaksian itu palsu belaka. Untuk itu, kalangan Islam Kejawen mempunyai pemaknaan tersendiri terhadap dua kalimat syahadat. Mereka menerjemahkannya sebagai berikut: “Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Mukamad iku utusaningsun (Ingsun bersaksi tiada Tuhan selain Ingsun, dan Ingsun bersaksi Muhammad utusan Ingsun).” Bagaimana penjelasannya? Simak uraian berikut.
.
Dzatullah (Allah Dalam Dzat) tak mungkin bisa disaksikan. Ia senantiasa “laysa kamitslihi syai’un” (tak serupa dengan apa pun). Dalam khazanah Jawa, Dzatullah ini “tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa” (tak bisa digambarkan dengan apa pun), yang disebut dengan Suwung, Kekosongan Abadi. Dalam khazanah Hindu Siwa, Dzatullah ini disebut Paramasiwa (Tuhan absolut yang tak bisa diberi sifat apa pun). Kamu tak akan bisa menyaksikan Dzatullah. Kamu tak bisa menggambarkan Suwung itu seperti apa. Dzatullah adalah Suwung, Kekosongan Abadi, Kemutlakan, yang tak bertempat tetapi segala tempat diliputi oleh-Nya. Karena Dzatullah ini Suwung, Kekosongan Abadi, maka Ia pun tak mengenal ruang-waktu. Dan karena Ia tak mengenal ruang-waktu, maka Ia pun tidak mungkin berfirman atau berkata. Kata-kata selalu terjadi di dalam ruang-waktu. Ada yang berkata dan ada yang diberi kata-kata, ada jarak di sana, sementara Dzatullah/Suwung/Paramasiwa belum mengenal jarak.
.
Akan tetapi, Dzatullah ini kemudian beremanasi, mengejawantahkan diri-Nya, menjadi Pluntar Kahuripan (Cahaya Kehidupan). Pluntar Kahuripan ini adalah Pribadi Tertinggi alam semesta, yang dalam filsafat Hindu Siwa disebut Sadasiwa dan dalam Tasawuf disebut Nur Muhammad. Pada tahap ini, Dzatullah sudah turun ke dalam sifat (Allah Dalam Sifat). Ia sudah mempribadi dan mempunyai sifat dan nama, dikenal dengan Asmaul Husna. Nur Muhammad atau Allah Dalam Sifat ini sudah mengenal ruang-waktu, sudah “mampu” berfirman. Pada tahap inilah Allah bisa dan mungkin “disaksikan”. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad ini pun berada di dalam diri setiap manusia. Orang Kejawen menyebut Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad di dalam diri manusia dengan nama INGSUN, orang Arab menyebutnya dengan nama RUH, orang Hindu menyebutnya dengan nama ATMAN. Ingsun adalah manifestasi pertama dari Dzatullah/Suwung/Paramasiwa. Ingsun ini bersemayam dalam diri setiap manusia. Ingsun di dalam dirimu tidak berbeda dengan Ingsun di dalam diriku. Itu sebabnya dalam beberapa dalil disebut bahwa inti kemanusiaan itu satu; jika kamu membunuh satu manusia, maka kamu sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Karena memang hakikat, inti, kemanusiaan adalah Ingsun yang tunggal dan sama. Apa beda antara Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad dengan Ingsun? Tidak ada. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad berada di dalam makrokosmos (alam semesta), Ingsun berada di dalam mikrokosmos (diri manusia). Itu saja. Ibarat air di danau dengan air di cangkir; hakikatnya sama-sama air. Sifat-sifat yang dikandung Allah Dalam Sifat pun dikandung Ingsun. Semua nama mulia Allah dalam Asmaul Husna pun dikandung manusia. Zikir Asmaul Husna sesungguhnya berguna untuk mengaktivasi sifat-sifat mulia Allah di dalam diri kita sendiri. Jika kita membaca “Ya Rahman Ya Rahim (Yang Maha Pengasih dan Penyayang)”, misalnya, itu agar sifat pengasih dan penyayang mengejawantah di dalam diri kita sendiri.
.
Bagaimana dengan Muhammad dalam syahadat? Muhammad bagi Muslim Kejawen adalah diri kita sendiri. Keberadaan kita di dunia sesungguhnya “mengemban tugas” dari Allah/Ingsun untuk memainkan takdir kita di kehidupan fana ini. Kita semua sejatinya adalah “utusan” Allah/Ingsun. Kanjeng Nabi Muhammad adalah salah satu hamba yang telah jumbuh dengan Allah/Ingsun di dalam dirinya, yang telah mampu memahami cetak biru kehidupannya, sehingga laku spiritual beliau patut diteladani. Dengan demikian, pemaknaan Muslim Kejawen tentang dua kalimat syahadat sudah terjawab, bahwa sesungguhnya Allah yang bisa disaksikan dalam syahadat tak lain adalah Ingsun, Allah yang sudah mempribadi, yang sudah mengenal ruang-waktu; sementara Muhammad dalam syahadat tak lain adalah diri kita sendiri, yang menjadi “utusan” Allah/Ingsun untuk mengemban tugas pribadi kita (swadharma) di kehidupan fana ini.
.
Lalu, muncul pertanyaan yang tak kalah besar: Jika Allah yang sudah mempribadi atau Ingsun bisa disaksikan, bagaimana kita bisa menyaksikan-Nya di dalam diri kita? Inilah hal terbesar yang hendak dicapai dalam laku spiritual: jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri. Hanya orang yang telah jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri, yang tahu jati dirinya. Tetapi tidak semua orang bisa menyaksikan Allah/Ingsun. Perjalanan berat dan panjang untuk bertemu dengan Allah/Ingsun ini dibabar dalam lakon Dewa Ruci yang banyak diyakini dianggit oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, mahaguru para Muslim Kejawen. Lakon Dewa Ruci sesungguhnya berkisah tentang perjalanan spiritual Bima menyelam ke dalam dirinya sendiri, untuk berjumpa dengan Sang Dewa Ruci (nama lain untuk Ingsun/Allah di dalam diri). Ruci bermakna Keutamaan, tetapi dalam paramasastra Jawa, Ruci bisa dimaknai pula dengan Ruh Suci, Ingsun/Allah di dalam diri manusia. Sang Dewa Ruci adalah Sang Guru Sejati dalam diri setiap manusia. Sang naga yang ditempuri Bima di dalam samudra tak lain adalah nafsu Bima sendiri. Tanpa mampu menundukkan sang naga, nafsu di dalam diri, kamu tak akan mampu bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci di dalam dirimu. Dan karena Allah dalam diri atau Ingsun tersebut sudah mempribadi, sudah menyandang sifat, sudah mengenal ruang-waktu, maka ketika Bima bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci, ia pun bisa bercakap-cakap dengan-Nya. Inilah sesungguhnya yang disebut firman! Sabda utama di relung terdalam jiwa manusia.
.
Kembali ke pembahasan awal bahwa syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, dan kamu tahu bahwa syahadat itu luar biasa berat, bertemu dan menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci itu luar biasa berat, maka sudah berapa dari kita yang menjadi Muslim dalam makna yang sesungguhnya? Pasti hanya bisa dihitung dengan jari. Tahukah kamu apa arti Muslim? Muslim adalah seseorang yang telah memasrahkan diri sepenuh-penuhnya pada kehendak Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci. Muslim sejati adalah ia yang telah “mati sajroning hurip, hurip sajroning pati” (mati dalam hidup, hidup dalam mati), sebagaimana Bima yang hidup kembali setelah bertemu Sang Dewa Ruci. Karena menjadi Muslim itu sungguh berat, aku pun malu mengaku Muslim, sebab aku belum pernah menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci dalam diriku. Aku belum bisa bersyahadat dengan sungguh-sungguh syahadat. Keislamanku masih berada dalam tanda koma, belum mencapai titik. Maka, mereka yang dengan mudah mengaku Muslim sementara syahadat mereka belum paripurna, lalu dengan sembrono menghakimi orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai kafir, adalah orang-orang yang kebodohannya sungguh tak tertanggungkan. Semoga Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci memberikan hidayah pada kita semua agar bisa bersyahadat dan menjadi Muslim dalam arti yang sesungguhnya.
.
RUJUKAN:
.
1. Induk Ilmu Kejawen (Wirid Hidayat Jati)
2. Suwung (Ajaran Rahasia Leluhur Jawa)
3. Ilmu Jawa Kuno (Jalan untuk Bertemu Sang Guru Sejati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar